Jumat, 19 November 2010

AGENDA MANAJEMEN UTANG LUAR NEGERI INDONESIA PASCA PEMILU 2009

Pendahuluan
Indonesia kembali melaksanakan pemilihan presiden untuk kepemimpinan periode 2009-2014. Masyarakat berharap Pemilu kali ini akan menghasilkan pemimpin yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan bangsa sehingga kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Selama ini, Indonesia dinilai belum mampu melaksanakan pembangunan yang merata. Dengan jumlah penduduk 227.650.000 jiwa pada tahun 2008 dan tingkat pertumbuhan mencapai 1,3 %, tetapi 21,4 % rakyat Indonesia masih berpenghasilan kurang dari US $ 1,25 perhari (data 2005). Disamping itu, angka masyarakat miskin mencapai jumlah 38.394.000 penduduk. Dengan dasar klasifikasi dari Bank Dunia yang mengatakan bahwa penduduk berpenghasilan kurang dari US $ 2 perhari perorang termasuk miskin, maka lebih dari 50 % penduduk Indonesia termasuk dalam kategori miskin. Penduduk yang tidak mempunyai rumah pun mencapai angka 32,3%.

Dari segi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), Indonesia ternyata berada di urutan 111 dari 171 negara. Data lain juga menunjukkan bahwa hanya 46,8 % anak-anak Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikan 9 tahun. Belum termasuk berbagai persoalan lain seperti masalah utang luar negeri, masalah tambang minyak Indonesia yang 90% ternyata dieksplotasi oleh asing, masalah ketidakpastian hukum, masalah kesehatan, bencana alam, korupsi dan lain sebagainya.

Semua persoalan tersebut, menurut penulis menggambarkan ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan pengelolaan ekonomi dengan baik. Pemerintah selama ini lebih mengutamakan pembangunan di sektor makro dan tidak memperhatikan pemerataan ekonomi. Akibatnya kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya tidak dapat diwujudkan sehingga menimbulkan deretan persoalan lainnya.

Indonesia selama ini membangun dengan pondasi yang sangat rapuh. Atas nama percepatan pertumbuhan ekonomi, pemerintah mengandalkan utang sebagai penyangga pembangunan. Dana tersebut, ternyata juga tidak digunakan untuk keperluan-keperluan strategis yang produktif. Akibatnya, dari hari ke hari beban utang semakin menumpuk dan kesejahteraan masyarakat tidak terwujud.

Menurut data Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, pada tahun 2009, Indonesia harus membayar utang sebesar 97,7 triliun, yang 58,65 triliunnya merupakan utang luar negeri. Uang dengan jumlah tersebut paling tidak harus terus dibayar Indonesia sampai tahun 2015, baru sedikit mengalami penurunan menjadi Rp. 66,7 triliun mulai tahun 2016.
Masalahnya, jumlah tersebut tentu sangat besar untuk ukuran negara seperti Indonesia. Persoalan semakin tidak terselesaikan ketika pemerintah membayar utang tersebut dengan membuka utang baru kepada kreditur lain.
Hal ini menyebabkan utang Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan jumlah tersebut bisa dilihat pada tabel berikut:


Tabel 1

Selisih Penambahan Utang Baru dengan

Pembayaran Cicilan Pokok Utang dan Bunga (dalam juta USD)

Keterangan

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

Penambahan Utang Baru

5.511

5.646

5.224

2.602

5.538

3.661

4.009

3.892

Pokok Utang

4.245

4.567

4.955

5.222

5.626

5.787

6.322

6.569

Bunga

2.912

2.782

2.656

2.495

1.339

2.280

2.298

2.272

Jumlah

7.157

7.349

7.611

7.717

6.965

8.067

8.620

8.841

Selisih

(1.646)

(1.703)

(2.387

(5.115)

(1.427)

(4.406)

(4.611)

(4.949)

Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI



Sayang rakyat Indonesia selama ini sering dibohongi oleh pemerintah. Utang luar negeri dihubungkan dengan rasio Produk Domestik Bruto (PDB). Akibatnya, utang Indonesia terlihat seakan-akan mengalami penurunan, padahal nominalnya sebenarnya selalu bertambah. Pada masa pemerintahan SBY-JK tahun 2004-2009, utang luar negeri Indonesia bertambah tidak kurang dari Rp.350 triliun. Jika pada tahun 2004, jumlah utang Indonesia sebesar 1.294,8 triliun, pada tahun 2008 jumlah tersebut meningkat menjadi 1.623 triliun. Pada tahun 2009 utang Indonesia sudah menjadi 1.667 triliun atau lebih dari 30 % produk domestik broto karena meminjam kembali dari Bank Dunia (Kompas. 17 April 2009). Jika dihitung dengan jumlah penduduk yang berjumlah 227 juta jiwa, berarti setiap orang termasuk bayi sudah menanggung utang sebesar Rp. 7.343.612,3.

Berkenaan dengan kondisi tersebut, masa depan Indonesia sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan nasional. Jika Pemilu 2009 tidak menghasilkan pemimpin yang benar-benar berpihak kepada rakyat, Indonesia tidak akan bisa keluar dari pengaruh Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan negara-negara industri maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang. Meskipun Indonesia sudah melunasi utang-utang dengan International Monetary Fund (IMF) pada masa SBY-JK, tetapi apabila tidak berhasil membayar tunggakan-tunggakan utang kepada kreditur-kreditur lainnya, sangat mungkin IMF akan kembali mengendalikan perekonomian Indonesia.

Tulisan ini ingin menekankan bagaimana pentingnya pemerintah terpilih dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 untuk segera menyelesaikan persoalan utang luar negeri Indonesia, dan sesegera mungkin membangun iklim ekonomi yang berpihak kepada rakyat dengan mengembangkan kemandirian nasional. Bukan tergantung kepada utang yang membuat Indonesia terjebak pada sistem liberalisasi ekonomi.

Konseptual
Modernisasi di negara-negara berkembang cenderung menghasilkan masalah, terutama persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Hal ini terjadi karena pembangunan lebih dimaknai sebagai pertumbuhan ekonomi dengan intervensi negara yang kuat dibandingkan upaya melakukan pemerataan pembangunan (Bauer, 1965:vi). Negara-negara tersebut sering mengalami cultural lag dengan perkembangan ekonomi, politik, dan budaya yang berkembang di negara-negara maju. Mereka ingin seperti negara maju tetapi belum mempunyai struktur penyangga yang kuat misalnya dari segi jaminan hukum atau budaya birokrasi pemerintah. Akibatnya, negara-negara berkembang tidak berhasil keluar dari berbagai persoalan kebangsaan, justru semakin terperangkap oleh hegemoni negara-negara maju.
Negara-negara berkembang terus berada dalam kemiskinan. Sementara kondisi dunia internasional, terutama dari sisi ekonomi politik, selalu berubah. Misalnya, dengan terjadinya krisis global yang mengakibatkan kenaikan harga minyak dan peningkatan suku bunga. Apabila pemerintah tidak mempunyai sistem dan manajemen perekonomian yang baik, pada kondisi seperti ini negara-negara berkembang akan terjebak dengan utang luar negeri.
Neraca pembayaran ekonomi mereka mengalami defisit akibat impor yang lebih besar daripada ekspor dan sistem ekonomi yang tidak sehat. Stabilitas devisa bisa diwujudkan dengan menambah jumlah dana. Kondisi ini mengundang negara-negara maju untuk memberikan utang.

Antusiasme memberikan utang tersebut merupakan upaya negara-negara maju untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Hanya saja, mereka membahasakan utang tersebut sebagai upaya membantu negara-negara berkembang membangun ekonomi, pertanian, perdagangan, kesehatan, dan kehidupan demokrasi yang lebih baik. Bantuan ini merupakan bentuk kebaikan (charity) negara-negara maju terhadap negara berkembang. Dengan demikian, utang luar negeri seakan merupakan solusi terbaik dalam menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi di negara-negara berkembang.

Padahal sesungguhnya, utang luar negeri akan menjadi beban perekonomian negara karena tidak diberikan secara gratis. Selain mengembalikan pinjaman pokok, juga harus ditambah bunga utang yang jumlahnya tidak sedikit. Kondisi akan lebih mengkhawatirkan apabila dana hasil pinjaman tersebut tidak digunakan untuk hal-hal produktif dan justru digunakan untuk kepentingan-kepentingan konsumtif. Biasanya pemerintah lebih suka mengalokasi dana untuk pembangunan yang terlihat dan langsung dirasakan manfaatnya seperti pembuatan jembatan, jalan raya, bandara dan infrastruktur lainnya. Adapun pembangunan jangka panjang seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan cenderung diabaikan.

Kondisi keuangan akan semakin tidak menguntungkan apabila dana tersebut dikorupsi, atau tidak digunakan untuk mereformasi sistem yang bermasalah, meningkatkan kapasitas (building capacity) aparatur pemerintahan melalui pengembangan kesehatan dan pendidikan atau untuk pengembangan teknologi dan pengetahuan. Manfaat utang luar negeri sama sekali tidak akan bermanfaat dalam pembangunan bangsa (Dowling and Hiemenz 1982, Boone 1994, Rajan and Subramanium 2005). Sejauh ini, korupsi sering terjadi karena karena adanya sistem dan kepercayaan tradisional yang bersifat patron klien, keluarga, persahabatan dan sistem yang saling memberi (Theobald, 1990: 88). Akibatnya, negara selalu berada dalam lingkaran persoalan keterbelakangan, dan ketimpangan sosial karena karakter elite dan intervensi asing yang selalu memenangkan kelompok pemodal. Negara-negara berkembang pada akhirnya tidak mampu melunasi utang yang mereka pinjam.

Karena piutang mereka tidak dibayar sesuai dengan waktu yang ditentukan, negara dan lembaga pemberi utang bisa melaporkan kejadian tersebut kepada IMF untuk ditindaklanjuti. Dalam kondisi tersebut, IMF akan mengucurkan dana untuk pelunasan utang dengan beberapa syarat yang sejalan dengan upaya liberalisasi sistem ekonomi. Negara yang didikte IMF tersebut akan kehilangan kedaulatan dan kemandirian sebagai bangsa yang merdeka dan memperjuangkan kepentingan rakyatnya.

Utang Luar Negeri Indonesia
Sebagaimana disebutkan di atas, Indonesia kini sudah terjebak dengan utang luar negeri yang tidak bisa segera dilunasi. Kondisi ini tidak terjadi dengan tiba-tiba melainkan mempunyai sejarah panjang.
Indonesia pada masa Orde Lama (Orla) merupakan negara miskin yang memerlukan dana dalam jumlah besar untuk mempertahankan kemerdekaan dan mulai melakukan pembangunan. Hanya saja pada waktu itu, presiden Soekarno sangat keras terhadap dunia Barat yang menawarkan utang atas nama bantuan. Semboyan presiden Soekarno yang sangat terkenal adalah “go to hell with your aid”, atau “Setrika Amerika, Linggis Inggris, dan Ganyang Malaysia”. Suatu pernyataan yang menggambarkan keberanian dan kekuatan karakter bangsa. Pada waktu itu, Indonesia berada pada tahap pembangunan karakter diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (character and nation building).

Hanya saja sikap tersebut tidak berlangsung lama. Setelah pemerintahan Orla digantikan oleh kekuasaan Orde Baru (Orba), Indonesia memasuki tahapan yang sangat tergantung dengan utang luar negeri. Soeharto ingin menggambarkan kepada rakyat bahwa dia adalah bapak pembangunan Indonesia karena membuat pertumbuhan ekonomi berkembang pesat.
Rakyat pada akhirnya mendukung dan membanggakan kepemimpinan Orba karena dinilai mampu mewujudkan stabilitas keamanan, politik dan ekonomi. Pemberontakan dan makar hampir tidak terdengar pada waktu itu. Kelompok penentang pemerintah akan disingkirkan. Dukungan terhadap orde baru semakin meningkat ketika pemerintah mulai mempropagandakan berbagai keuntungan yang didapatkan dari ”kebaikan” asing yang memberikan utang ke Indonesia.
Beberapa efek positif utang luar negeri terhadap pembangunan Indonesia yang digambarkan oleh pemerintahan Orba antara lain:
  • Bantuan asing mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur, dan sektor-sektor produktif seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  • Bantuan asing mampu membuat Indonesia lebih sejahtera karena menciptakan stabilitas perekonomian Indonesia seperti mendorong Indonesia menjadi negara swasembada pangan, serta memperkuat berbagai sektor lainnya seperti masalah lingkungan kesehatan, dan sistem sosial politik masyarakat.
Dengan kampanye keuntungan dari utang luar negeri tersebut dan sistem pemerintahan yang otoriter, kebijakan Orba untuk mendapatkan utang luar negeri sejak tahun 1967 tidak mengalami kesulitan yang berarti. Negara-negara kaya segera membentuk Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang kemudian berubah menjadi Consultative Group of Indonesia (CGI) untuk membantu Indonesia, dengan memberikan utang setiap tahun. Negara-negara tersebut dikoordinir oleh Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF.

Dalam implementasinya, dana pinjaman tersebut tidak digunakan untuk hal-hal yang strategis dan menguntungkan rakyat. Pembangunan Indonesia tidak dilakukan atas dasar pemerataan ekonomi, melainkan sekadar mengutamakan pertumbuhan. Indonesia menggunakan tolok ukur PBB bahwa apabila GNP telah melampau angka 5 % ke atas, berarti pembangunan telah berhasil (Muljarto, 1995).

Singkat cerita, pembangunan Indonesia tidak membuat rakyat semakin sejahtera dan hidup dalam keadilan. Justru Indonesia terjebak kedalam perangkap utang (debt trap) karena jumlahnya yang kian hari semakin meningkat. Indonesia menutupi kekurangan dana pembangunan selalu dengan cara mengutang. Hal inilah yang oleh sebagian pengamat ekonomi disebut sebagai pembangunan palsu (the catching up fallacy). Indonesia terlihat maju, tetapi sebenarnya sangat rapuh. Apabila terjadi krisis global yang membuat dolar meningkat, stabilitas ekonomi dan politik sulit dipertahankan.

Menghadapi dilema ini, pemerintah Indonesia lagi-lagi memanipulasi kebobrokan ekonomi dengan cara halus. Beberapa bentuk strategi yang dilakukan antaralain dengan cara:
  1. Menyebut APBN yang defisit berada dalam keadaan berimbang karena kekurangnnya ditutupi oleh utang luar negeri. Sayangnya utang tersebut tidak disebut utang melainkan tertulis sebagai ”pemasukan pembangunan” atau bantuan.
  2. Defisit APBN tidak memasukkan cicilan utang pokok sebagai pengeluaran, melainkan hanya mencantumkan pembayaran bunga sehingga jumlahnya terlihat lebih kecil.
Suatu kebijakan yang sama sekali tidak substansif dan tidak menyelesaikan masalah yang sesungguhnya. Pemerintah seakan hanya mencari simpati dan menghindari gerakan penolakan rakyat. Padahal di balik semua itu, justru dana yang bocor karena dikorupsi sangat banyak. Menurut penelitian Prof Dr. Jeffrey Winters, tidak kurang dari 33 % dana bantuan asing di Indonesia dikorupsi secara berjama’ah oleh para elite pemerintah dan birokrasi.
Tidak hanya itu, pemerintahan Orba yang berkuasa selama 32 tahun tidak mampu mewujudkan kepastian hukum. Akibatnya sangat banyak dana utang yang dilarikan ke luar negeri oleh para elite yang tidak bertanggungjawab, misalnya kasus Edi Tansil. Selain itu, pemerintahan yang dikuasai oleh Soeharto dan kroni-kroninya secara nepotisme membuat dana utang dan perekonomian nasional tidak dapat dikelola dengan baik. Tingkat bunga bank pun menjadi sangat tinggi.

Pada akhirnya, ketika gelombang krisis global masuk ke Indonesia pada tahun 1998, jumlah utang luar negeri semakin meningkat. Jika di akhir Orba, utang pemerintah Indonesia berjumlah US $ 54 milyar, pasca pemerintahan Habibie menjadi US $ 74 milyar, pasca Megawati US $ 76 milyar, dan diakhir pemerintahan SBY jumlah utang semakin meningkat.
Kondisi menjadi semakin sulit karena Indonesia sudah memasuki fase liberalisasi ekonomi. Para ”mafia Berkeley” (julukan yang diberikan kepada sekolompok menteri bidang ekonomi dan keuangan, yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia di masa awal Orba seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, J.B Soemarlin, Emil Salim) telah memengaruhi pemerintah untuk membuat kebijakan pengetatan anggaran dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, industri dan perdagangan serta melakukan privatisasi pada beberapa lembaga strategis negara. Akhirnya keberpihakan negara lebih kepada pihak pemodal dan melupakan kepentingan rakyat kecil. Dalam bidang pendidikan tinggi misalnya, beberapa universitas berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bahkan sekarang menjadi Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP). Biaya pendidikan pun menjadi semakin mahal dan sulit terjangkau oleh masyarakat luas.

Dampak Utang Luar Negeri Terhadap Stabilitas Indonesia
Fenomena utang luar negeri sebagaimana tersebut di atas membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Paling tidak beberapa kejadian berikut dialami Indonesia karena ketidakmampuan mengelola utang dan perekonomian negara:
  • Utang luar negeri menyebabkan terjadinya distorsi perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan adanya upaya dari IMF sebagai lembaga paling berwenang menyelesaikan masalah utang luar negeri untuk mengarahkan beberapa kebijakan mereka kepada Indonesia, seperti kebijakan menaikan pajak dan pengurangan anggaran pemerintah dalam upaya menghindari terjadinya defisit dalam bidang fiskal. Tidak hanya itu, IMF juga memengaruhi kebijakan yang sama sekali tidak berhubungan dengan perekonomian misalnya berkenaan dengan reformasi struktural kepemimpinan negara atau lembaga keuangan.
  • Utang luar negeri mengakibatkan terjadinya ketergantungan (dependency) secara politik dan ekonomi terhadap asing. Hal ini berkenaan dengan sikap mental bangsa yang terbiasa mengandalkan orang lain dalam menyelesaikan masalah melalui utang sehingga kehilangan kreatifitas. Selain itu, ketergantungan ini dilahirkan secara sistematis melalui beberapa persyaratan yang harus dipenuhi ketika Indonesia menerima utang luar negeri, misalnya kesediaan Indonesia agar tenaga ahli, barang-barang/jasa, pendistribusian dan pemasangan terhadap proyek yang didanai oleh utang tersebut disediakan dan dikerjakan oleh negara pemberi utang. Artinya utang yang diberikan tersebut sebenarnya kembali kepada negara yang memberikan utang dalam bentuk proyek.
  • Indonesia menjadi negara liberal yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat. Justru keperpihakan pemerintah lebih kepada kelompok pemodal dan investor asing. Akhirnya mereka menguasai faktor-faktor ekonomi strategis, termasuk dalam bidang produksi. Dalam kondisi seperti ini, rakyat menjadi miskin ditengah gelimang kekayaan alam. Yang terjadi adalah ketimpangan sosial ekonomi antara kelompok pemodal dengan rakyat biasa.
  • Jumlah utang Indonesia semakin meningkat karena adanya pertambahan bunga setiap tahun, belum termasuk naiknya harga dollar. Pada tahun 2009, setiap tahun diperkirakan Indonesia harus membayar utang pokok dan bunga utang hampir sebesar 100 triliun atau 25 % atau lebih dari APBN. Jumlah pembayaran utang merupakan porsi terbesar pengeluaran APBN.
  • Oleh karena itu, pemerintah akhirnya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan dasar, penyediaan air bersih, listrik dan lingkungan yang sehat. Hanya saja dalam realitanya seringkali pemerintah menyebut diri sudah berhasil memberikan yang terbaik untuk rakyat. Dalam kampanye legislatif 2009 yang lalu, pemerintah begitu bangga menyebut bahwa mereka berhasil menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak tiga kali dari Rp. 6.000,- menjadi Rp.4.500,-. Sayang pemerintah tidak pernah menyebut bahwa mereka juga telah menaikkan harga BBM dari Rp.2.700,- menjadi Rp. 6.000,-.
Beberapa dampak utang tersebut akan memengaruhi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya. Negara yang sudah terjebak dengan utang akan mengalami masalah dalam bidang politik, sosial, budaya, keamanan, berbagai sektor strategis dalam bermasyarakat.

Tanggungjawab Presiden Terpilih 2009-2014
Gambaran tersebut di atas menunjukan kompleksitas beban ekonomi dan politik Indonesia terutama berkaitan dengan masalah utang. Selama persoalan utang ini tidak bisa diselesaikan, kita tidak bisa berharap banyak bahwa kemakmuran Indonesia bisa diwujudkan. Oleh karena itu, paling tidak ada beberapa hal yang perlu menjadi agenda strategis pemerintahan terpilih dalam pemilu 2009, antara lain:
  • Pemerintah perlu membentuk undang-undang yang mengatur masalah pengelolaan utang, sebagai upaya meminimalisir penggunaan dana dari utang yang tidak semestinya. Utang misalnya akan lebih bermanfaat apabila digunakan untuk membiayai kebutuhan produktif yang bermanfaat dalam jangka panjang seperti pengembangan listrik.
  • Pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang terhadap produk-produk hukum akibat ketergantungan terhadap utang luar negeri yang tidak berpihak kepada rakyat, misalnya Undang Undang Sumber Daya Air, Undang Undang Minyak dan Gas, Undang Undang BUMN, Undang Undang Mineral dan Batubara, Undang Undang Perkebunan, Undang Undang Penanaman Modal, Undang Undang Ketenagakerjaan, Undang Undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.
  • Pemerintah harus berusaha melakukan lobi dalam upaya penghapusan atau pengurangan utang, atau minimal penjadwalan ulang pembayara utang agar tidak terlalu membebani APBN, sehingga kebutuhan rakyat dapat dipenuhi secara lebih maksimal. Hal ini akan lebih optimal apabila dilakukan secara bersama dengan negara-negara berkembang lainnya, misalnya agar bantuan yang diberikan tidak berupa utang, atau dengan tanpa syarat.
  • Yang lebih penting adalah bahwa pemerintah harus mempunyai komitmen untuk membangun kemandirian bangsa dengan mengembangkan sistem perekonomian kerakyatan. Sudah saatnya ekonomi digerakan secara riil dengan memanfaatkan potensi-potensi domestik, tanpa terpengaruh dengan sistem liberalisme. Indonesia harus terbebas dari utang negara atau lembaga apapun.
  • Begitu juga dari sisi hukum, pemerintah perlu menjamin tegaknya sumpremasi hukum, dalam arti berani memberikan tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang merugikan kepentingan rakyat tanpa pandang bulu. Indonesia harus bebas dari korupsi. Dengan demikian pembangunan nasional seperti infrastruktur dapat dilakukan secara lebih maksimal.
Persoalannya, bahwa semua kebijakan tersebut hanya dapat dilakukan oleh kepemimpinan yang kuat. Tanpa pemimpin yang benar-benar memahami dan berempati kepada masyarakat, serta menolak segala bentuk liberalisasi ekonomi maka Indonesia tidak akan pernah lepas dari utang luar negeri. Pertanyaannya, apakah pemilihan presiden 2009 mampu menyingkirkan aktor-aktor liberal dalam pemerintahan terpilih?(Gonda Yumitro)

Sumber: ejournal.umm.ac.id/index.php/bestari/.../163_umm_scientific_journal.doc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar